Skip to main content

Rukyah Syar'iyyah

Rukyah Syar'iyyah

Ketika kita jatuh sakit, maka sebenarnya ada dua pilihan yang akan kita ambil, yaitu berobat atau didiamkan saja? Seorang ibu yang melihat anaknya jatuh sakit, biasanya panik dan langsung membawa anaknya ke dokter. Ibu mana yang tega melihat anaknya demam tinggi, tidak mau makan, atau kalau makan muntah, dan badannya lemah? Tetapi di sisi lain, ada pula seseorang yang sudah sakit parah namun bersikeras melawan sendiri penyakitnya, tidak mau berobat, padahal keluarganya telah membujuknya agar mau dibawa ke rumah sakit. Di luar masalah teknis yang lain seperti biaya dan jarak dari tempat berobat, haruskah kita berobat ketika jatuh sakit?

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa hukum berobat adalah wajib jika meninggalkannya akan menimbulkan bahaya bagi tubuh. Seseorang yang terkena penyakit kanker misalnya, maka dengan izin Allah Ta’ala, jika anggota tubuh yang mengandung kanker tersebut dibuang, maka anggota tubuh yang lain akan selamat. Akan tetapi jika tidak dibuang, maka kanker tersebut akan menyebar dan menjalar ke seluruh tubuh sehingga dapat membahayakan anggota tubuh lainnya. Oleh karena itu, membuang anggota tubuh yang mengandung sel-sel kanker tersebut adalah obat yang bermanfaat. Sehingga dalam hal ini, memotong (membuang) sebagian anggota tubuh untuk menyelamatkan anggota tubuh lainnya hukumnya menjadi wajib.
Adapun rincian hukum berobat yang beliau rahimahullah jelaskan adalah sebagai berikut:

Pertama, jika betul-betul diketahui manfaatnya atau terdapat sangkaan (dugaan) kuat adanya manfaat suatu pengobatan atau terdapat kemungkinan timbulnya bahaya jika meninggalkannya, maka hukum berobat dalam hal ini adalah wajib. Kedua, jika terdapat sangkaan kuat manfaat suatu pengobatan, akan tetapi tidak ada bahaya yang nyata jika tidak berobat, maka hukum berobat dalam hal ini adalah sunnah. Ketiga, jika antara berobat dan tidak berobat kemungkinannya sama, maka lebih baik ditinggalkan (tidak perlu berobat) agar seseorang tidak menjerumuskan dirinya sendiri dalam bahaya tanpa dia sadari. (Lihat Syarhul Mumti’, 2: 464-465)

Ulama lainnya memberikan perincian yang lain, yaitu kadang-kadang hukum berobat adalah wajib, kadang-kadang sunnah, kadang-kadang mubah, kadang-kadang makruh, dan kadang-kadang haram. Berobat dengan barang-barang yang haram, maka hukumnya haram. [1]

Selain itu, hukum berobat menjadi wajib apabila ada hak-hak orang lain yang akan terabaikan dengan adanya penyakit. Misalnya seorang suami yang terkena penyakit yang menghalanginya untuk berhubungan badan dengan istrinya, sedangkan terdapat obat (mujarab) yang sudah diketahui. Jika sang suami tidak mau berobat, hal tersebut justru akan menjerumuskan istrinya ke dalam masalah (yaitu kebutuhan biologisnya tidak terpenuhi), bahkan dalam perbuatan keji (yaitu selingkuh atau berzina). Orang yang ditimpa penyakit seperti ini, maka wajib baginya untuk berobat.

Kadang-kadang, disunnahkan untuk tidak berobat apabila penyakit tersebut tidak berpengaruh terhadap keselamatan ibadah atau tidak terkait dengan hak-hak orang lain. Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada orang yang terkena penyakit ayan (epilepsi),

إِنْ شِئْتِ صَبَرْتِ وَلَكِ الْجَنَّةُ وَإِنْ شِئْتِ دَعَوْتُ اللَّهَ أَنْ يُعَافِيَكِ
“Jika kamu mau, kamu bersabar, maka bagimu surga. Jika kamu mau, aku akan berdoa kepada Allah, sehingga Dia menyembuhkanmu.” (HR. Bukhari no. 5652 dan Muslim no. 2576)

Berobat dimakruhkan bila menggunakan hal-hal makruh atau akan menyebabkan dibukanya aurat, tanpa ada keperluan mendesak untuk itu. Dalam beberapa kasus lain, berobat hukumnya hanya mubah. [2]
Seseorang kadang beralasan ketika tidak mau berobat dengan mengatakan,”Tawakkal saja kepada Allah, Dzat Yang memberi kesembuhan.” Sebenarnya tidak ada yang salah pada kalimat ini, namun yang kurang tepat adalah pemahaman orang tersebut terhadap hakikat dari tawakkal itu sendiri. Seolah-olah kalau kita sakit kemudian berobat, itu tidak termasuk bertawakkal kepada Allah Ta’ala.

Oleh karena itu kita perlu meninjau kembali, apa yang dimaksud dengan tawakkal? Tawakkal adalah bersandar kepada Allah Ta’ala untuk meraih sesuatu yang diinginkan dan untuk menolak sesuatu yang dibenci disertai dengan melakukan sebab-sebab yang diizinkan di dalamnya. Sehingga di dalam tawakkal harus terpenuhi dua hal.

Pertama, bersandar kepada Allah Ta’ala dengan sebenar-benarnya. Ke dua, melakukan sebab-sebab (usaha atau sarana) yang diizinkan oleh syari’at. Barangsiapa yang lebih bersandar kepada sebab (semata-mata bersandar kepada usaha yang dia tempuh), maka kuranglah tawakkalnya kepada Allah Ta’ala. Selain itu juga berarti mencela kekuasaan Allah Ta’ala. Adapun orang yang bersandar kepada Allah Ta’ala saja tanpa melakukan usaha, maka hal ini merupakan celaan terhadap hikmah (kebijaksanaan) Allah Ta’ala. Karena Allah Ta’ala menjadikan sebab untuk segala sesuatu. Allah adalah Dzat Yang Maha bijaksana. Allah Ta’ala mengaitkan sebab dengan akibatnya (musabbab-nya). Hal ini sebagaimana orang yang bersandar kepada Allah untuk memiliki anak, namun dia tidak mau menikah. (Lihat Al-Qaulul Mufiid, 2: 28)

Berdasarkan penjelasan di atas, jelaslah bahwa berobat tidak bertentangan dengan tawakkal. Bahkan hakikat tauhid tidaklah sempurna kecuali dengan melakukan sebab-sebab yang dikaitkan oleh Allah dengan musabbab-nya, baik menurut ketentuan takdir-Nya maupun syari’at-Nya. Menolak hukum sebab-akibat berarti melecehkan sikap tawakkal itu sendiri. Karena hakikat tawakkal adalah bersandarnya hati kepada Allah Ta’ala untuk meraih hal-hal yang bermanfaat dan menolak hal-hal yang membahayakan bagi seorang hamba dalam urusan dunia dan akhiratnya. Namun, penyandaran hati itu harus disertai dengan melakukan usaha. Bila tidak, maka berarti menentang kebijaksanaan dan syari’at Allah Ta’ala. (Lihat Zaadul Ma’aad, 4: 11)
Meskipun demikian, diantara para ulama terdapat perselisihan pendapat tentang manakah yang lebih utama bagi seseorang yang sedang sakit, apakah berobat atau meninggalkan berobat dalam rangka mewujudkan sikap tawakkal kepada Allah?

Dalam permasalahan ini ada dua pendapat yang terkenal di antara para ulama. Yang tampak (baca: dzahir) dari pendapat Imam Ahmad rahimahullah adalah bahwa bertawakkal (yaitu dengan meninggalkan berobat, pen.) itu lebih utama bagi orang yang mampu. Pendapat beliau ini didasarkan pada hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menceritakan bahwa di antara umat beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ada tujuh puluh ribu orang yang masuk surga tanpa hisab. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
هُمُ الَّذِينَ لَا يَسْتَرْقُونَ، وَلَا يَتَطَيَّرُونَ، وَلَا يَكْتَوُونَ، وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ
”Mereka adalah orang-orang yang tidak melakukan tathayyur [1], tidak meminta agar diruqyah, dan tidak meminta di-kay [2]. Dan hanya kepada Rabb-nya mereka bertawakkal.” (HR. Muslim no. 218)

Adapun ulama yang mengatakan bahwa berobat itu lebih utama, mereka rahimahullah mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berobat ketika sakit. Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah melakukan sesuatu kecuali itulah perkara yang lebih utama. Adapun maksud hadits di atas adalah berobat dengan ruqyah yang makruh, yaitu ruqyah yang dikhawatirkan mengandung unsur kesyirikan. Hal ini bisa dilihat dari penyebutan ruqyah tersebut bersama dengan penyebutan pengobatan dengan metode kay dan tathayyur. Padahal hukum keduanya adalah makruh atau bahkan haram. (Lihat Jami’ul Ulum wal Hikam, 2: 500-501)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin juga menjelaskan beberapa sebab maksud hadits di atas, salah satunya karena ketika seseorang meminta orang lain untuk meruqyah dirinya, terdapat unsur ketergantungan hati kepada selain Allah Ta’ala. Sehingga dirinya tidak bergantung kepada Allah Ta’ala, dan justru bergantung kepada manusia yang meruqyah dirinya atau kepada ruqyah itu sendiri. (Lihat Al-Qaulul Mufiid, 1: 102-103)

Kondisi yang sama bisa jadi kita dapatkan pada orang yang berobat. Yaitu, dia lebih bergantung kepada obat, dokter, atau tabib itu sendiri, dan tidak bergantung kepada Allah Ta’ala. Padahal, ketika sedang berusaha, seseorang tidak boleh bersandar kepada usahanya, namun hatinya tetap bergantung kepada Allah Ta’ala. Mungkin hal inilah yang menjadi landasan pendapat Imam Ahmad rahimahullah ketika mengatakan bahwa meninggalkan berobat itu lebih utama. (Lihat Al-Qaulus Sadiid Syarh Kitab Tauhiid, 1: 46)

Kesimpulannya, seseorang hendaknya berobat ketika jatuh sakit dan hal ini tidaklah bertentangan dengan tawakkal selama orang tersebut tetap bergantung kepada Allah Ta’ala, Dzat Yang menyembuhkan segala macam penyakit. Sebagaimana doa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menjenguk sahabatnya yang sedang sakit,

اللَّهُمَّ رَبَّ النَّاسِ أَذْهِبِ البَاسَ، اشْفِهِ وَأَنْتَ الشَّافِي، لاَ شِفَاءَ إِلَّا شِفَاؤُكَ، شِفَاءً لاَ يُغَادِرُ سَقَمًا
“Ya Allah, Tuhan seluruh manusia, hilangkanlah penyakit ini dan sembuhkanlah. Engkaulah Asy-Syaafi (Dzat Yang menyembuhkan). Tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan dari-Mu, kesembuhan yang tidak menyisakan penyakit.” (HR. Bukhari no. 5675 dan Muslim no. 2191)

Ibnul Jauzi rahimahullah berkata, ”Jika terbukti bahwa berobat itu hukumnnya mubah berdasarkan ijma’, atau sunnah menurut pendapat sebagian ulama, maka kita tidak perlu memperhatikan pendapat sekelompok orang yang mengatakan bahwa berobat itu bertentangan dengan tawakkal. Karena terdapat ijma’ bahwa berobat itu tidaklah bertentangan dengan tawakkal. Dan terdapat hadits yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau berobat dan memerintahkan untuk berobat. Berobatnya beliau dan perintah beliau (kepada orang lain, pen.) untuk berobat tersebut menunjukkan bahwa berobat tidaklah bertentangan dengan tawakkal.”(Talbiis Ibliis, hal. 287-288) [3]

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata setelah menyebutkan hadits-hadits yang memerintahkan untuk berobat,
وَفِي الْأَحَادِيثِ الصّحِيحَةِ الْأَمْرُ بِالتّدَاوِي وَأَنّهُ لَا يُنَافِي التّوَكّلَ كَمَا لَا يُنَافِيهِ دَفْعُ دَاءِ الْجَوْعِ وَالْعَطَشِ وَالْحَرّ وَالْبَرْدِ بِأَضْدَادِهَا بَلْ لَا تَتِمّ حَقِيقَةُ التّوْحِيدِ إلّا بِمُبَاشَرَةِ الْأَسْبَابِ الّتِي نَصَبَهَا اللّهُ مُقْتَضَيَاتٍ لِمُسَبّبَاتِهَا قَدَرًا وَشَرْعًا
“Dalam hadits-hadits shahih di atas terdapat perintah untuk berobat. Berobat tidak bertentangan dengan tawakkal, sebagaimana menghilangkan rasa haus, lapar, panas, atau dingin dengan lawannya juga tidak bertentangan dengan tawakkal. Bahkan, hakikat tauhid tidaklah sempurna kecuali dengan melakukan sebab-sebab yang telah Allah Ta’ala tetapkan bisa mewujudkan musabbab menurut syariat dan realita.“ (Zaadul Ma’aad, 4: 14) [4]



Syaikh Dr. Shalih Al-Fauzan hafidzahullah berkata, ”Berobat, baik yang hukumnya mubah, sunnah, atau wajib, tidaklah bertentangan dengan tawakkal. Karena sebagian orang-orang yang bodoh mengatakan, ’Jangan berobat, dalam rangka bertawakkal kepada Allah!’ Maka kita katakan, mengambil sebab (baca: berusaha) tidaklah menafikan tawakkal. Sedangkan berobat merupakan salah satu bentuk sebab. Mengambil sebab juga telah diperintahkan oleh Allah Ta’ala.” (I’aanatul Mustafiid, 1: 83)

Dalam melakukan praktek pengobatan dengan ruqyah, hendaknya seseorang senantiasa berpegang kepada petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga dapat terhindar dari praktek-praktek ruqyah yang tidak sesuai dengan sunnah Nabi, dan bahkan terdapat unsur penyerupaan (tasyabbuh) dengan dunia klenik dan perdukunan. Beberapa praktek kaum muslimin dalam meruqyah dengan menggunakan (media) air dan rincian hukumnya masing-masing.
Membacakan ayat Al-Qur’an ke air, kemudian diminum. Caranya, kita membaca ayat-ayat ruqyah dengan mendekatkan segelas air bersih ke mulut. Selesai membaca ayat ruqyah, air tersebut diminum. Perbuatan semacam ini diperbolehkan karena adanya dalil yang menunjukkannya. Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menemui Tsabit bin Qais ketika sedang sakit. Kemudian beliau berdoa,
اكْشِفِ الْبَأْسَ رَبَّ النَّاسِ عَنْ ثَابِتِ بْنِ قَيْسِ بْنِ شَمَّاسٍ
“Iksyifil ba’sa Rabban naas ‘an Tsabit bin Qais bin Syammas.” [Hilangkanlah penyakit dari Tsabit bin Qais bin Syammas, wahai Rabb seluruh manusia.]. Kemudian beliau mengambil debu tanah dari Baththan dan memasukkannya ke dalam gelas, kemudian beliau menyemburkan air ke dalamnya, lalu menuangkan kepadanya.”

Hadits di atas diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 3885); An-Nasa’i dalam ‘Amalul yaumi wal lailah (no. 1017); Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir (no. 1323) dan Ibnu Hibban dalam Al-Mawaarid (no. 1418), dari jalur Yusuf bin Muhammad bin Tsabit bin Qais, dari ayahnya, dari kakeknya secara marfu’ (bersambung sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.). Ibnu Hajar berkata tentang Yusuf bin Muhammad di dalam At-Taqriib, “Maqbuul” (diterima). Yaitu, ketika riwayat yang disampaikan terdapat mutaba’ah-nya. Dan hadits ini memiliki syawahid yang menguatkannya, di antaranya hadits ruqyah dengan menggunakan air dan garam [1] dan juga hadits tentang ruqyah dengan tanah dan air ludah [2].

Adanya manfaat dari air yang sudah dibacakan ruqyah kepada orang sakit adalah sesuatu yang telah diketahui, pengaruhnya pun bisa dilihat, karena air memiliki karakteristik tersendiri. Jika digabungkan dengan ruqyah, maka terkumpullah dua sebab sekaligus, yaitu sebab konkret dan sebab abstrak. Di antaranya, manfaat bagi orang yang terkena sihir jika sihir tersebut dikirimkan melalui sesuatu yang diminumkan.

Dalil lain yang menunjukkan disyariatkannya membacakan ruqyah ke air adalah hadits-hadits tentang tata cara mengobati orang yang terkena ‘ain. Yaitu, orang penyebab ‘ain mandi, lalu airnya dituangkan kepada orang yang terkena ‘ain [3]. Jika semata-mata mandi saja bisa bermanfaat untuk orang yang terkena ‘ain, padahal air tersebut tidak dibacakan ayat ruqyah, maka bagaimana lagi jika air tersebut dibacakan ruqyah lalu ditiup dengan sedikit bercampur air ludah? Padahal dalam ruqyah tersebut terdapat kalamullah, yang semuanya mengandung keberkahan dan mengandung kebaikan bagi seluruh manusia.

Maka adanya manfaat dari air yang dibacakan ruqyah itu lebih jelas daripada sekedar air (bekas) mandi orang yang menyebabkan gangguan ‘ain. Lebih-lebih lagi jika yang membaca doa ruqyah tersebut ikhlas kepada Allah Ta’ala. Diperbolehkan menggunakan air yang sudah dibacakan ruqyah untuk mandi orang yang terkena sihir atau terkena gangguan ‘ain. Karena air tersebut di dalamnya tidak terdapat ayat Al-Qur’an sama sekali, sehingga tidak terdapat unsur perendahan atau penghinaan terhadap Al-Qur’an. Adapun yang terkait dengan air tersebut hanyalah berupa tiupan yang sedikit bercampur dengan air ludah saja. Sedangkan ayat Al-Qur’an yang dibacakan peruqyah itu berupa doa dan pujian kepada Allah Ta’ala, berdoa dan merendahkan diri di hadapan Allah Ta’ala. Sehingga tidak ada satu pun ayat Al-Qur’an yang masuk ke dalam air.

Sebagian orang menyangka bahwa hal ini tidak diperbolehkan. Anggapan ini tidaklah dibenarkan. Karena, sekali lagi, tidak terdapat unsur penghinaan dan perendahan terhadap ayat Al-Qur’an dalam perbuatan tersebut. Selain itu, jika meminum air yang sudah dibacakan ruqyah itu diperbolehkan, maka menggunakannya untuk mandi tentu lebih layak lagi untuk diperbolehkan. Wallahu Ta’ala a’lam.

Tidak terdapat keutamaan air kembang ketika digunakan untuk ruqyah. Oleh karena itu, kepada para peruqyah dinasihatkan untuk tidak menganjurkan orang yang akan diruqyah (pasien) agar menyediakan air kembang. Bahkan kita katakan, air biasa itulah yang lebih baik. Hal ini karena para dukun memerintahkan kliennya untuk menyediakan air kembang. Sehingga dalam perbuatan tersebut terdapat unsur tasyabbuh (penyerupaan) dengan perbuatan para dukun.

Terdapat praktek kaum muslimin yang mencelupkan kertas bertuliskan ayat-ayat Al-Qur’an ke dalam air, dengan maksud untuk meruqyah orang yang terkena gangguan jin, terkena sihir atau terkena penyakit ‘ain dengan air tersebut. Air tersebut kemudian diminumkan dengan maksud untuk berobat dengan menggunakan ayat Al-Qur’an. Perbuatan semacam ini bukanlah petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak diamalkan pula oleh para ulama salaf. Orang-orang yang membolehkan praktek ruqyah semacam ini hanyalah bersandar kepada kisah-kisah israiliyat yang sangat tidak layak dijadikan sebagai hujjah. Demikian pula, dalam perbuatan tersebut terdapat berbagai mafsadah (sisi negatif atau kerusakan) yang mirip dengan mafsadah menggantungkan ayat-ayat Al-Qur’an (dijadikan jimat), misalnya terhinakannya ayat Al-Qur’an tersebut.

Perbuatan yang tidak jauh berbeda adalah mencelupkan kertas bertuliskan ayat Al-Qur’an ke dalam air, lalu air tersebut dipakai untuk mandi. Perbuatan ini tidak berdalil, baik dari Al-Qur’an, sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan riwayat-riwayat dari ulama salaf tentang hal ini pun tidak shahih. Mencelupkan kertas bertuliskan ayat Al-Qur’an ke dalam air itu pada asalnya tidak diperbolehkan. Perbuatan ini bukanlah metode yang benar dalam berobat dengan menggunakan ayat-ayat Al-Qur’an. Sehingga semua pemanfaatan air semacam itu, baik diminum atau dipakai mandi, hukumnya pun mengikuti perbuatan asalnya, yaitu sama-sama tidak diperbolehkan. [4]

Beberapa Kesalahpahaman tentang Rukyah
Ruqyah adalah penyembuhan suatu penyakit dengan membacakan ayat-ayat suci Al-Qur’an atau doa-doa tertentu yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. [1] Ruqyah juga boleh dikerjakan dengan membaca doa-doa tertentu dalam bahasa Arab atau bahasa non-Arab, asal jelas maknanya dan tidak mengandung sedikit pun unsur kesyirikan. [2] Terkait pengobatan dengan metode ruqyah, terdapat beberapa pemahaman yang perlu diluruskan. Dan inilah yang menjadi fokus atau maksud pembahasan di sini.

Salah satu kesalahpahaman yang menyebar di masyarakat adalah anggapan mereka bahwa ruqyah hanya khusus untuk gangguan akibat ulah jin. Ini adalah anggapan yang tidak benar. Ruqyah dapat dilakukan baik untuk gangguan akibat jin atau untuk penyakit fisik. Sebagaimana hadits panjang yang diriwayatkan oleh Bukhari dari sahabat Abu Sa’id Al-Khudhri radhiyallahu ‘anhu. Yaitu ketika salah seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meruqyah penduduk kampung yang tersengat kalajengking dengan bacaan surat Al-Fatihah. Tindakan ini pun mendapat persetujuan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jelaslah bahwa ruqyah juga bermanfaat untuk penyakit-penyakit fisik. Karena tersengat kalajengking adalah penyakit akibat gangguan fisik, dan bukan gangguan jin.

Juga praktek Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Aisyah radhiyallahu ‘anha ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sakit menjelang akhir kehidupan beliau. Aisyah radhiyallahu ‘anha  berkata,

أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَنْفُثُ عَلَى نَفْسِهِ فِى الْمَرَضِ الَّذِى مَاتَ فِيهِ بِالْمُعَوِّذَاتِ ، فَلَمَّا ثَقُلَ كُنْتُ أَنْفِثُ عَلَيْهِ بِهِنَّ ، وَأَمْسَحُ بِيَدِ نَفْسِهِ لِبَرَكَتِهَا .

”Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meniupkan kepada dirinya (bacaan) mu’awwidzatain (yaitu surat Al-Falaq dan An-Naas, pen.) ketika sakit yang menyebabkan beliau meninggal dunia. Ketika beliau sudah lemah, maka saya meniupkan (bacaan) mu’awwidzatain untuknya dan saya mengusap dengan menggunakan tangan beliau, karena mengharapkan berkahnya.” (HR. Bukhari)
Hadits ini jelas menunjukkan disyariatkannya ruqyah untuk penyakit yang menimpa fisik seseorang. Oleh karena itu, merupakan kesalahan sebagian orang yang hanya mengaitkan ruqyah hanya untuk penyakit yang diduga akibat gangguan jin.

Meskipun demikian, kita juga tidak boleh langsung memvonis bahwa semua gangguan fisik yang dialami seseorang pasti disebabkan oleh gangguan jin. Apapun kondisi penyakitnya, selalu dikaitkan dengan gangguan jin dan hanya membutuhkan ruqyah, tidak memerlukan metode pengobatan lainnya. Ini adalah kekeliruan, dan sikap berlebih-lebihan yang ditunjukkan oleh sebagian praktisi ruqyah. Misalnya dengan mengatakan bahwa semua operasi caesar pada hakikatnya disebabkan oleh gangguan jin. Ini adalah keyakinan yang tidak benar. Karena indikasi dilakukannya operasi caesar adalah karena adanya kondisi medis tertentu, misalnya gawat janin, plasenta yang tidak normal, dan sebagainya. Sehingga tidak selayaknya semuanya dan sedikit sedikit dikaitkan dengan gangguan jin.

Syaikh Dr. Naashir bin ‘Abdul Karim Al-‘Aql rahimahullahu Ta’ala berkata,
يقوم بعض الرقاة بتشخيص المرض بظواهر على الجسم على سبيل الظن، فكون الراقي يعرف بعض الأمراض من باب القرائن ومن باب غلبة الظن هذا قد يكون مقبولاً، لكن المشكلة أن بعض القراء يستدل بالصداع على أمر معين ويجزم، أقول: إذا كان من باب غلبة الظن فلا حرج، لكن الجزم ما يجوز.
أو يستدل الراقي بما يحدث للمريض من قشعريرة على التشخيص، نعم، القشعريرة في الغالب قرينة على تأثر الإنسان بالقرآن وأنه مصاب بعين أو سحر، أو أي شيء مما أثر فيه، لكن لا على سبيل الجزم بمكان السحر أو نوع المرض، بأن يقول: فيك مس أو فيك سحر جزماً، لكن يقول: هذا ربما يكون علامة على الشيء الفلاني، أرجو ألا يكون في هذا مانع مع التحفظ والاحتراز
.
“Sebagian peruqyah mendeteksi keberadaan jin dengan adanya tanda-tanda fisik berdasarkan dugaan semata. Tindakan peruqyah yang mengetahui adanya gangguan jin berdasarkan petunjuk atau dugaan kuat semacam ini terkadang bisa diterima. Akan tetapi yang patut dipertanyakan adalah sebagian peruqyah menentukan secara pasti adanya gangguan jin berdasarkan gejala sakit kepala. Aku katakan, jika sebatas dugaan kuat hal itu tidak mengapa. Akan tetapi, memastikan (bahwa itu karena gangguan jin), itu tidak boleh.

Atau peruqyah berdalil dengan pasien yang berontak atau bergetar (saat dibacakan ruqyah). Betul, berontak (bergetarnya tubuh saat mendengar bacaan ruqyah) itu secara umum memang menunjukkan reaksi seseorang terhadap Al-Qur’an, atau bahwa dia terkena ‘ain atau sihir, atau segala sesuatu yang berpengaruh lainnya. Akan tetapi, tidak boleh dikatakan secara pasti sebagai gangguan sihir atau penyakit tertentu, dengan mengatakan secara pasti bahwa di dalam tubuhmu ada jin atau ada sihir. Namun, hendaknya dikatakan, hal ini biasanya merupakan tanda terkena jin tertentu. Aku berharap hal ini tidak menghalangi kita untuk bersikap hati-hati.” [3]

Ada sebagian peruqyah yang menggunakan metode yang mereka sebut sebagai istihdharul jinn (mengundang jin). Jadi peruqyah tersebut mengundang jin yang dianggap sebagai penyebab penyakit yang diderita seseorang tanpa harus menghadirkan orang sakitnya. Si jin ini dimasukkan kepada diri orang yang lain (yang sehat) lalu disembuhkan. Lalu metode ini ditutup dengan pembacaan surat Al -Baqarah ayat 148. Salah seorang peruqyah mengklaim bahwa para ulama kibar dan mufti saudi di Saudi Arabia memfatwakan metode tersebut boleh dilakukan dan bahwasanya itu termasuk ruqyah syar’iyyah. Apakah ini benar?

Metode semacam ini tidak syar’i, karena beberapa poin: Pertama: Metode ini menyimpang dari ruqyah syar’iyyah. Karena ruqyah syar’iyyah harus dilakukan secara langsung kepada orang yang sakit, yaitu orang yang meruqyah membacakan ayat-ayat kepada orang yang sakit sehingga ia mendapatkan manfaat dari bacaan tersebut.
Disebutkan dalam Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah jilid ke dua (1/92):

الرقية لا بد أن تكون على المريض مباشرة ، ولا تكون بواسطة مكبر الصوت ، ولا بواسطة الهاتف ؛ لأن هذا يخالف ما فعله رسول الله صلى الله عليه وسلم وأصحابه رضي الله عنهم وأتباعهم بإحسان في الرقية ، وقد قال صلى الله عليه وسلم : ( من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد ) ” انتهى .

“Ruqyah harus dilakukan secara langsung kepada orang yang sakit, tidak dilakukan dengan perantara pengeras suara, atau telepon. Karena ini bertentangan dengan apa yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan para sahabatnya radhiallahu’anhum serta para tabi’in dalam meruqyah. Sedangkan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda, ‘barangsiapa yang membuat perkara baru dalam perkara kami (perkara agama), yang tidak ada tuntunannya dari kami, maka ia tertolak.‘”
Juga disebutkan dalam Fatawa Al- Lajnah Ad-Da`imah jilid ke dua (1/88-89):

قد دل على جواز التداوي بالرقى فعل النبي صلى الله عليه وسلم وقوله وتقريره صلى الله عليه وسلم ، وقد أجمع على جوازها المسلمون بثلاثة شروط :
الشرط الأول : أن تكون الرقية بكلام الله تعالى أو كلام رسوله أو الأدعية المشروعة .
الشرط الثاني : أن تكون بلسان عربي أو بما يعرف معناه في الأدعية والأذكار .
الشرط الثالث : أن يعتقد الراقي والمريض أن هذا سبب لا تأثير له إلا بتقدير الله سبحانه وتعالى .
وهي تكون بالقراءة والنفث على المريض ، سواء كان يرقي نفسه أو يرقيه غيره … تكون على المريض مباشرة ، أو تكون بماء قليل يسقاه المريض ” انتهى .

“Dalil-dalil menunjukkan bolehnya berobat dengan ruqyah. Ini dilakukan oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, disabdakan oleh beliau dan disetujui oleh beliau. Para ulama juga sepakat bolehnya berobat dengan ruqyah dengan tiga syarat:
  1. Ruqyah harus dengan kalamullah (Al-Qur’an) atau dengan kalam Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan doa-doa yang disyariatkan
  2. Harus dengan bahasa Arab atau doa-doa dan dzikir yang dipahami maksudnya
  3. Peruqyah dan orang yang sakit meyakini bahwa ruqyah hanyalah sebab yang tidak bisa memberi pengaruh kecuali atas takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala
Caranya yaitu dengan membacakan ayat-ayat dan doa, serta meniupkannya kepada orang yang sakit. Baik ia meruqyah diri sendiri atau meruqyah orang lain… dilakukan kepada orang yang sakit secara langsung, atau dengan sedikit air yang diminumkan kepada orang yang sakit.”

Kedua: Jin itu samar bagi kita keadaannya. Ia termasuk bagian dari alam gaib. Maka bagaimana bisa peruqyah merasa yakin bahwa jin yang ia hadirkan tersebut adalah jin yang menyebabkan sakitnya orang tersebut? Dari mana ia mengetahui bahwa orang yang sakit tersebut yang tidak ada di hadapannya itu sakit karena diganggu jin bukan karena sebab lain?

Maka perbuatan semacam ini adalah perkaranya para dukun, wajib untuk dijauhi. Barangsiapa ingin meruqyah, maka wajib baginya melakukan ruqyah syar’iyyah yang sesuai dengan sunnah Nabawiyyah. Selain itu, memasukan jin kepada seseorang yang normal itu sama saja memberikan bahaya, juga penyakit dan juga was-was pada dirinya. Maka ini menjadi poin lain yang menambah terlarangnya ruqyah dengan metode semacam tersebut di atas.
Adapun klaim bahwasanya kibarul ulama Saudi membolehkan hal tersebut, maka telah kami bawakan di atas fatwa kibarul ulama bahwa ruqyah syar’iyyah harus dilakukan secara langsung kepada orang yang sakit.

Fatwa Syaikh Abdullah bin Jibrin
Soal:
Apa hukum syar’i terhadap penjualan air atau minyak zaitun yang dibacakan (ayat-ayat dan doa-doa ruqyah), atau hal lain yang semacamnya dengan harga tertentu? Perkara seperti ini dalam beberapa kejadian terkadang hanya bohongan saja.

Jawab: oleh Fatwa Syaikh Abdullah bin Jibrin: Alhamdulillahi wahdah, washalatu was salaamu ‘ala man laa nabiyya ba’dah, waba’du. Realitanya, orang-orang yang biasa menjual air atau hal lain yang ditiupkan bacaan-bacaan semacam ini hanya sedikit sekali faidah dan manfaatnya. Karena ruqyah yang semacam ini, orang yang membacakan (ayat-ayat dan doa-doa) pada air atau yang lainnya tersebut tidaklah memaksudkannya kecuali untuk perkara duniawi dan maslahah pribadi. Orang yang menggunakannya tidak mendapatkan bahaya juga tidak mendapatkan manfaat. Oleh karena itu kami nasehatkan untuk mencukupkan diri pada metode ruqyah yang biasa (bukan yang diperjual-belikan), yang diniatkankan untuk memberi manfaat bagi saudaranya sesama muslim dan menghilangkan gangguan darinya. Dan tidak perlu mengambil upah dari aktifitas ruqyah tersebut kecuali sekedar untuk biaya ganti air atau hal lain yang dibacakan ayat-ayat dan doa.

Demikian juga sebagai balasan dari ruqyah tersebut hendaknya jangan meminta berupa bayaran, jika mereka yang diruqyah memberikan bayaran dalam jumlah banyak hendaknya dikembalikan. Dan juga bagi orang yang sakit, kami nasehatkan jangan datang kepada mereka peruqyah yang tujuannya mencari harta, karena pengaruh ruqyahnya sedikit sekali. Wallahu a’lam. (almoslim.net- Fatwa Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad) .

Sekarang, sebagian orang praktisi ruqyah yang biasa menangani orang sakit, mulai mengundang orang-orang untuk datang ke rumah mereka. Bagaimana hukumnya? Dijawab oleh Syeikh:

Memberi manfaat bagi manusia itu baik, namun bukan dengan hal yang berlebihan atau hal yang tidak pantas seperti ini. Hal berlebihan ini bukanlah sesuatu yang baik. Bahkan terkadang sebagian mereka, karena saking banyak yang berobat kepadanya, sampai-sampai mereka harus membacakan ruqyah kepada beberapa orang sekaligus. Ini tidak beralasan sama sekali. Apalagi jika mereka menjual air yang sudah dibacakan ruqyah, ini juga merupakan hal yang berlebih-lebihan yang tidak baik. )Sumber: albaidha.net - Fatwa Syaikh Shalih As Suhaimi +
Dan diantara hal seharusnya dijauhi dari praktek ruqyah: Yaitu sebagian orang menyibukkan diri menjual air yang sudah dibacakan ruqyah atau ditiupkan ruqyah padanya. Sampai-sampai ada yang mengklaim bahwa air-air tersebut dibacakan di bak air yang besar lalu dibungkus ke dalam kantong-kantong. Dan satu galon dihargai 70 real. Mereka mendeskripsikan jumlah air yang ada di bak tersebut di label yang ada di galon. Dan juga mencantumkan harga di sana yang merupakan harta batil yang diambil tanpa hak. Dan sebagian lagi memiliki cara yang berbeda. Mereka menjual-belikan minyak zaitun (yang sudah dibacakan ruqyah). Sampai-sampai orang-orang sekarang jadi ghuluw dalam hal ini. Yaitu, terjadi fitnah. Mereka menyediakan jutaan pak minyak zaitun tersebut dan menjualnya dengan harga yang berlipat-ganda karena diklaim minyak ini sudah dibacakan ruqyah. (sumber” bajenahsalaf.com - Fatwa Syaikh Muhammad Al Imam )

Pertanyaan dari Perancis: apakah boleh seseorang meruqyah pada air memercikannya (kepada orang sakit) dalam rangka komersil? Ataukan ini termasuk bid’ah? Apakah boleh meruqyah air lalu menjualnya?
Jawab:
Air yang sudah dibacakan ruqyah kemudian dipercikkan kepada bagian tubuh yang diperkirakan terkena gangguan sihir, ini boleh hukumnya. Adapun menjual air yang sudah dibacakan ruqyah, ini bukanlah perkara yang disyariatkan. Ini termasuk sikap tawassu’ (berlebih-lebihan) yang sama sekali tidak ada kebutuhan untuk itu. Sangat mudah bagi setiap orang untuk membeli air dan datang kepada peruqyah mana saja. Intinya, tidak boleh menjual air yang sudah dibacakan ruqyah. Cukup dengan air biasa yang sudah ada saja. Dan tidak ada kebutuhan untuk menjual air yang dibacakan ruqyah.

Andai kami mengetahui ada orang yang melakukan seperti ini, kami tidak akan mau diruqyah olehnya selama-lamanya. Dan kami tidak setuju dan tidak mengizinkan perbuatan ini. Dan ini dapat dipahami bahwa fenomena sebenarnya hanya membuat hal-hal yang prospek untuk diperdagangkan saja. Dan sebagian orang bahkan mengemas air semacam ini dalam tangki-tangki dan mengklaim bahwa itu air yang sudah dibacakan ruqyah pada tidak.


Cara yang Benar Pelaksanaan Rukyah

Tahapan Sebelum Rukyah:
Persiapan Diri Peruqyah, Persiapan yang Diruqyah dan Persiapan Lingkungan Tempat Ruqyah
Persiapan diri peruqyah:
(1). Terus membekali diri dengan referensi yang cukup tentang Pengobatan, Ruqyah, Jin dan Tazkiyah Nafs (pensucian Jiwa). 
(2).Banyak istighfar, do’a perlindungan & taqorrub kepada Allah swt.
(3). Doa-doa dan dzikir-dzikir perlindungan perlu dilakukan juga oleh keluarga.
(4).Upayakan selalu dalam keadaan berwudhu’.
(5). Sebaiknya taqorrub dengan amal-amal sholih dan isti’anah (memohon pertolongan) kepada ALLAH swt sebelum memulai peruqyahan.
(6). Tawakkal, menyerahkan hasil sepenuhnya kepada Allah swt

Persiapan yang diruqyah:
(1). Musnahkan / tutup pintu-pintu masuk Syaithan/jin. Misalnya: Benda-benda kemusyrikan, (Jimat, ‘penangkal’, penglaris, pusaka-pusaka)., Ilmu tenaga dalam (berikut atribut/panji-panjinya), jiwa yang penakut, pemarah, sering sedih, terlalu senang canda (sering tertawa-tawa), gambar-gambar bernyawa dan patung, lambang-lambang kekufuran, dzikir-dzikir/wirid-wirid/sholawat-sholawat yang tidak diajarkan Nabi. Benda-benda tersebut dibakar: bacakan ayat kursi, dibakar, dirusak atau dibuang ke tempat yang tidak dijangkau orang (sehingga tidak ditemukan lagi).

(2) Bila belum sempat dilakukan, maka harus sudah ada sikap penolakkan dan siap memusnahkan.

(3) Bila merokok, niatkan berhenti dari merokok (setelah diruqyah biasanya sudah tidak “nikmat” lagi cita rasa rokoknya).

(4) Berwudhu sebaik-baiknya

(5) Tertutup auratnya.

(6) Hendaknya seorang wanita bersama mahramnya jika yang meruqyah laki-laki.

Persiapan lingkungan tempat meruqyah :
(1). Bersih dari benda-benda kemusyrikan, gambar, patung, alat-alat musik dan lambang-lambang kekufuran atau kemaksiatan. Termasuk yang ada pada perlengkapan rumah: meja, kursi, perhiasan dan sebagainya.
(2). Bila rumah tersebut ada benda-benda kemusyrikan atau hal-hal yang harus dimusnahkan atau banyak tikus/ular maka lakukan peruqyahan untuk rumah tersebut terlebih dahulu cara:
          -  Bacakan ruqyah di air dalam jumlah yang cukup banyak,
          -  Cipratkan/semprotkan ke sarang-sarang tikus/ular,
          -  Semua sudut rumah kecuali kamar mandi/wc.

TATA CARA RUQYAH YANG BENAR
Ruqyah bukan pengobatan alternatif. Justru seharusnya menjadi pilihan pertama pengobatan tatkala seorang muslim tertimpa penyakit. Sebagai sarana penyembuhan, ruqyah tidak boleh diremehkan keberadaannya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan: “Sesungguhnya meruqyah termasuk amalan yang utama. Meruqyah termasuk kebiasaan para nabi dan orang-orang shalih. Para nabi dan orang shalih senantiasa menangkis setan-setan dari anak Adam dengan apa yang diperintahkan Allah dan RasulNya”. [1]

Karena demikian pentingnya penyembuhan dengan ruqyah ini, maka setiap kaum Muslimin semestinya mengetahui tata cara yang benar, agar saat melakukan ruqyah tidak menyimpang dari kaidah syar’i.
Tata cara meruqyah adalah sebagai berikut:
1. Keyakinan bahwa kesembuhan datang hanya dari Allah.
2. Ruqyah harus dengan Al Qur’an, hadits atau dengan nama dan sifat Allah, dengan bahasa Arab atau bahasa yang dapat dipahami.
3. Mengikhlaskan niat dan menghadapkan diri kepada Allah saat membaca dan berdoa.
4. Membaca Surat Al Fatihah dan meniup anggota tubuh yang sakit. Demikian juga membaca surat Al Falaq, An Naas, Al Ikhlash, Al Kafirun. Dan seluruh Al Qur’an, pada dasarnya dapat digunakan untuk meruqyah. Akan tetapi ayat-ayat yang disebutkan dalil-dalilnya, tentu akan lebih berpengaruh.
5. Menghayati makna yang terkandung dalam bacaan Al Qur’an dan doa yang sedang dibaca.
6. Orang yang meruqyah hendaknya memperdengarkan bacaan ruqyahnya, baik yang berupa ayat Al Qur’an maupun doa-doa dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Supaya penderita belajar dan merasa nyaman bahwa ruqyah yang dibacakan sesuai dengan syariat.
7. Meniup pada tubuh orang yang sakit di tengah-tengah pembacaan ruqyah. Masalah ini, menurut Syaikh Al Utsaimin mengandung kelonggaran. Caranya, dengan tiupan yang lembut tanpa keluar air ludah. ‘Aisyah pernah ditanya tentang tiupan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam meruqyah. Ia menjawab: “Seperti tiupan orang yang makan kismis, tidak ada air ludahnya (yang keluar)”. (HR Muslim, kitab As Salam, 14/182). Atau tiupan tersebut disertai keluarnya sedikit air ludah sebagaimana dijelaskan dalam hadits ‘Alaqah bin Shahhar As Salithi, tatkala ia meruqyah seseorang yang gila, ia mengatakan: “Maka aku membacakan Al Fatihah padanya selama tiga hari, pagi dan sore. Setiap kali aku menyelesaikannya, aku kumpulkan air liurku dan aku ludahkan. Dia seolah-olah lepas dari sebuah ikatan”. [HR Abu Dawud, 4/3901 dan Al Fathu Ar Rabbani, 17/184].
8. Jika meniupkan ke dalam media yang berisi air atau lainnya, tidak masalah. Untuk media yang paling baik ditiup adalah minyak zaitun. Disebutkan dalam hadits Malik bin Rabi’ah, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

كُلُوْا الزَيْتَ وَ ادَّهِنُوا بِهِ فَإنَهُ مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَكَة
“Makanlah minyak zaitun , dan olesi tubuh dengannya. Sebab ia berasal dari tumbuhan yang penuh berkah”.[2]
9. Mengusap orang yang sakit dengan tangan kanan. Ini berdasarkan hadits ‘Aisyah, ia berkata: “Rasulullah, tatkala dihadapkan pada seseorang yang mengeluh kesakitan, Beliau mengusapnya dengan tangan kanan…”. [HR Muslim, Syarah An Nawawi (14/180].

Imam An Nawawi berkata: “Dalam hadits ini terdapat anjuran untuk mengusap orang yang sakit dengan tangan kanan dan mendoakannya. Banyak riwayat yang shahih tentang itu yang telah aku himpun dalam kitab Al Adzkar”. Dan menurut Syaikh Al ‘Utsaimin berkata, tindakan yang dilakukan sebagian orang saat meruqyah dengan memegangi telapak tangan orang yang sakit atau anggota tubuh tertentu untuk dibacakan kepadanya, (maka) tidak ada dasarnya sama sekali.

10. Bagi orang yang meruqyah diri sendiri, letakkan tangan di tempat yang dikeluhkan seraya mengatakan بِسْمِ الله (Bismillah, 3 kali).

أعُوذُ بِالله وَ قُدْرَتِهِ مِنْ شَر مَا أجِدُ وَ أحَاذِرُ
“Aku berlindung kepada Allah dan kekuasaanNya dari setiap kejelekan yang aku jumpai dan aku takuti”.[3]
Dalam riwayat lain disebutkan “Dalam setiap usapan”. Doa tersebut diulangi sampai tujuh kali.
Atau membaca :

بِسْمِ الله أعُوذُ بِعزَِّةِ الله وَ قُدْرَتِهِ مِنْ شَر مَا أجِدُ مِنْ وَجْعِيْ هَذَا
“Aku berlindung kepada keperkasaan Allah dan kekuasaanNya dari setiap kejelekan yang aku jumpai dari rasa sakitku ini”.[4]
Apabila rasa sakit terdapat di seluruh tubuh, caranya dengan meniup dua telapak tangan dan mengusapkan ke wajah si sakit dengan keduanya.[5]
11. Bila penyakit terdapat di salah satu bagian tubuh, kepala, kaki atau tangan misalnya, maka dibacakan pada tempat tersebut. Disebutkan dalam hadits Muhammad bin Hathib Al Jumahi dari ibunya, Ummu Jamil binti Al Jalal, ia berkata: Aku datang bersamamu dari Habasyah. Tatkala engkau telah sampai di Madinah semalam atau dua malam, aku hendak memasak untukmu, tetapi kayu bakar habis. Aku pun keluar untuk mencarinya. Kemudian bejana tersentuh tanganku dan berguling menimpa lenganmu. Maka aku membawamu ke hadapan Nabi. Aku berkata: “Kupertaruhkan engkau dengan ayah dan ibuku, wahai Rasulullah, ini Muhammad bin Hathib”. Beliau meludah di mulutmu dan mengusap kepalamu serta mendoakanmu. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih meludahi kedua tanganmu seraya membaca doa:

أَذْهِبْ الْبَأْسَ رَبَّ النَّاسِ وَاشْفِ أَنْتَ الشَّافِي لَا شِفَاءَ إِلَّا شِفَاؤُكَ شِفَاءً لَا يُغَادِرُ سَقَمًا
“Hilangkan penyakit ini wahai Penguasa manusia. Sembuhkanlah, Engkau Maha Penyembuh. Tidak ada kesembuhan kecuali penyembuhanMu, obat yang tidak meninggalkan penyakit”[6].

Dia (Ummu Jamil) berkata: “Tidaklah aku berdiri bersamamu dari sisi Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kecuali tanganmu telah sembuh”.
12. Apabila penyakit berada di sekujur badan, atau lokasinya tidak jelas, seperti gila, dada sempit atau keluhan pada mata, maka cara mengobatinya dengan membacakan ruqyah di hadapan penderita. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘laihi wa sallam meruqyah orang yang mengeluhkan rasa sakit. Disebutkan dalam riwayat Ibnu Majah, dari Ubay bin K’ab , ia berkata: “Dia bergegas untuk membawanya dan mendudukkannya di hadapan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa salla,m . Maka aku mendengar Beliau membentenginya (ta’widz) dengan surat Al Fatihah”.[7]

Apakah ruqyah hanya berlaku untuk penyakit-penyakit yang disebutkan dalam nash atau penyakit secara umum? Dalam hadits-hadits yang membicarakan terapi ruqyah, penyakit yang disinggung adalah pengaruh mata yang jahat (‘ain), penyebaran bisa racun (humah) dan penyakit namlah (humah). Berkaitan dengan masalah ini, Imam An Nawawi berkata dalam Syarah Shahih Muslim: “Maksudnya, ruqyah bukan berarti hanya dibolehkan pada tiga penyakit tersebut. Namun maksudnya bahwa Beliau ditanya tentang tiga hal itu, dan Beliau membolehkannya. Andai ditanya tentang yang lain, maka akan mengizinkannya pula. Sebab Beliau sudah memberi isyarat buat selain mereka, dan Beliau pun pernah meruqyah untuk selain tiga keluhan tadi”. (Shahih Muslim, 14/185, kitab As Salam, bab Istihbab Ar Ruqyah Minal ‘Ain Wan Namlah).

Cara Pengobatan dari Pengaruh Sihir dan Jin

Pengobatan sihir yang sudah menimpa pada diri seseorang bisa dilakukan dengan beberapa cara:

Cara Pertama, Mengeluarkan sihir tersebut dan menggagalkannya jika diketahui tempatnya dengan cara-cara yang dibolehkan menurut syariat. Dan ini merupakan suatu hal yang paling manjur untuk pengobatan orang yang terkena sihir [1].

Cara kedua, Menggunakan ruqyah yang sesuai dengan syariat, diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Ruqyah dengan daun bidara
Menumbuk tujuh helai daun pohon sidr (daun bidara) hijau di antara dua batu atau sejenisnya, lalu menyiramkan air ke atasnya sebanyak jumlah air yang cukup untuk mandi dan dibacakan ke dalamnya:
أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
ِAku berlindung kepada Allah dari godaan syaitan yang terkutuk

اللّهُ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ لاَ تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلاَ نَوْمٌ لَّهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأَرْضِ مَن ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلاَ يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِّنْ عِلْمِهِ إِلاَّ بِمَا شَاء وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ وَلاَ يَؤُودُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ
Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya? Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. Al Baqarah: 255).

وَأَوْحَيْنَا إِلَى مُوسَى أَنْ أَلْقِ عَصَاكَ فَإِذَا هِيَ تَلْقَفُ مَا يَأْفِكُونَ فَوَقَعَ الْحَقُّ وَبَطَلَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ فَغُلِبُوا هُنَالِكَ وَانْقَلَبُوا صَاغِرِينَ وَأُلْقِيَ السَّحَرَةُ سَاجِدِينَ قَالُوا آمَنَّا بِرَبِّ الْعَالَمِينَ رَبِّ مُوسَى وَهَارُونَ
Dan Kami wahyukan kepada Musa: “Lemparkanlah tongkatmu!”. Maka sekonyong-konyong tongkat itu menelan apa yang mereka sulapkan. Karena itu nyatalah yang benar dan batallah yang selalu mereka kerjakan. Maka mereka kalah di tempat itu dan jadilah mereka orang-orang yang hina. Dan ahli-ahli sihir itu serta merta meniarapkan diri dengan bersujud. Mereka berkata: “Kami beriman kepada Tuhan semesta alam, (yaitu) Tuhan Musa dan Harun.” (QS. Al A’raf: 117-122).

وَقَالَ فِرْعَوْنُ ائْتُونِي بِكُلِّ سَاحِرٍ عَلِيمٍ فَلَمَّا جَاءَ السَّحَرَةُ قَالَ لَهُمْ مُوسَى أَلْقُوا مَا أَنْتُمْ مُلْقُونَ فَلَمَّا أَلْقَوْا قَالَ مُوسَى مَا جِئْتُمْ بِهِ السِّحْرُ إِنَّ اللَّهَ سَيُبْطِلُهُ إِنَّ اللَّهَ لَا يُصْلِحُ عَمَلَ الْمُفْسِدِينَ وَيُحِقُّ اللَّهُ الْحَقَّ بِكَلِمَاتِهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُجْرِمُونَ
Fir’aun berkata (kepada pemuka kaumnya): “Datangkanlah kepadaku semua ahli-ahli sihir yang pandai!” Maka tatkala ahli-ahli sihir itu datang, Musa berkata kepada mereka: “Lemparkanlah apa yang hendak kamu lemparkan”. Maka setelah mereka lemparkan, Musa berkata: “Apa yang kamu lakukan itu, itulah yang sihir, sesungguhnya Allah akan menampakkan ketidak benarannya” Sesungguhnya Allah tidak akan membiarkan terus berlangsungnya pekerjaan orang-yang membuat kerusakan. Dan Allah akan mengokohkan yang benar dengan ketetapan-Nya, walaupun orang-orang yang berbuat dosa tidak menyukai(nya).” (QS. Yunus: 79-82).

قَالُوا يَا مُوسَى إِمَّا أَنْ تُلْقِيَ وَإِمَّا أَنْ نَكُونَ أَوَّلَ مَنْ أَلْقَى قَالَ بَلْ أَلْقُوا فَإِذَا حِبَالُهُمْ وَعِصِيُّهُمْ يُخَيَّلُ إِلَيْهِ مِنْ سِحْرِهِمْ أَنَّهَا تَسْعَى فَأَوْجَسَ فِي نَفْسِهِ خِيفَةً مُوسَى قُلْنَا لَا تَخَفْ إِنَّكَ أَنْتَ الْأَعْلَى وَأَلْقِ مَا فِي يَمِينِكَ تَلْقَفْ مَا صَنَعُوا إِنَّمَا صَنَعُوا كَيْدُ سَاحِرٍ وَلَا يُفْلِحُ السَّاحِرُ حَيْثُ أَتَى فَأُلْقِيَ السَّحَرَةُ سُجَّدًا قَالُوا آمَنَّا بِرَبِّ هَارُونَ وَمُوسَى
(Setelah mereka berkumpul) mereka berkata: “Hai Musa (pilihlah), apakah kamu yang melemparkan (dahulu) atau kamikah orang yang mula-mula melemparkan?”. Berkata Musa: “Silahkan kamu sekalian melemparkan”. Maka tiba-tiba tali-tali dan tongkat-tongkat mereka, terbayang kepada Musa seakan-akan ia merayap cepat, lantaran sihir mereka. Maka Musa merasa takut dalam hatinya. Kami berkata: “janganlah kamu takut, sesungguhnya kamulah yang paling unggul (menang). Dan lemparkanlah apa yang ada ditangan kananmu, niscaya ia akan menelan apa yang mereka perbuat. “Sesungguhnya apa yang mereka perbuat itu adalah tipu daya tukang sihir (belaka). Dan tidak akan menang tukang sihir itu, dari mana saja ia datang”. Lalu tukang-tukang sihir itu tersungkur dengan bersujud, seraya berkata: “Kami telah percaya kepada Tuhan Harun dan Musa”.” (QS. Thaha: 65-70).

 بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ ,قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
Katakanlah: “Hai orang-orang kafir, Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. an aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku”.” (QS. Al Kafirun: 1-6).

 بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ ,قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ اللَّهُ الصَّمَدُ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ
Katakanlah: “Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia”.” (QS. Al Ikhlash: 1-4).

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ ,قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ وَمِنْ شَرِّ غَاسِقٍ إِذَا وَقَبَ وَمِنْ شَرِّ النَّفَّاثَاتِ فِي الْعُقَدِ وَمِنْ شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ
Katakanlah: “Aku berlindung kepada Tuhan Yang Menguasai subuh, dari kejahatan makhluk-Nya, dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita, dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul, dan dari kejahatan pendengki bila ia dengki”.” (QS. Al Falaq: 1-5).

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ. مَلِكِ النَّاسِ. إِلَهِ النَّاسِ. مِن شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ. الَّذِي يُوَسْوِسُ فِي صُدُورِ النَّاسِ. مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ
Katakanlah: “Aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia. Raja manusia. Sembahan manusia. Dari kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi, yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia, ari (golongan) jin dan manusia.” (QS. An Naas: 1-6).
Setelah membacakan ayat-ayat di atas pada air yang sudah disiapkan tersebut hendaklah dia meminumnya sebanyak tiga kali, dan kemudian mandi dengan menggunakan sisa air tersebut. Dengan demikian, insya Allah penyakit (sihir) akan hilang. Dan jika perlu, hal itu boleh diulang dua kali atau lebih hingga penyakit (sihir) itu benar-benar sirna. Hal itu sudah banyak dipraktikkan, dan dengan izin-Nya, Allah memberikan manfaat padanya. Pengobatan tersebut juga sangat baik bagi suami-isteri yang tidak bisa jima‘ (bersetubuh) karena terkena sihir [2].
2. Dengan tiupan dan sentuhan
Membaca surat Al Fatihah, ayat Kursi, dua ayat terakhir surat Al Baqarah, surat Al Ikhlash, surat Al Falaq, dan surat An Naas sebanyak tiga kali atau lebih, disertai tiupan dan sentuhan pada bagian yang terasa sakit dengan menggunakan tangan kanan [1].
3. Membaca dzikir dan doa ruqyah
Membaca beberapa ta’awwudz, ruqyah, dan doa yang mencakup:
a) Membaca doa berikut:
أَسْأَلُ اللَّهَ الْعَظِيمَ رَبَّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ ، أَنْ يَشْفِيَكَ
Aku memohon kepada Allah Yang Maha Agung, Rabb Pemilik Arsy yang agung, agar Dia menyembuhkanmu” (Diucapkan sebanyak 7x)[2]
b) Orang yang sakit meletakkan tangannya diatas bagian yang sakit seraya mengucapkan:
بِسْمِ اللَّهِ
dengan menyebut nama Allah” (dibaca 3x)
Kemudian mengucapkan:

أَعُوذُ بِعِزَّةِ اللَّهِ وَقُدْرَتِهِ مِن شَرِّ مَا أَجِدُ وَأُحاذِرُ
Aku berlindung kepada Allah dan kepada kekuasaan-Nya dari kejahatan apa yang aku temui dan yang aku khawatirkan” (dibaca 7x)[3]
c) Membaca doa (sambil mengusapkan tangan kanan kepada orang yang sakit)

اللَّهُمَّ ربَّ النَّاسِ ، أَذْهِب الْبَأسَ ، واشْفِ ، أَنْتَ الشَّافي لا شِفَاءَ إِلاَّ شِفَاؤُكَ ، شِفاءً لا يُغَادِرُ سقَماً
Ya Allah, Rabb Pemelihara manusia, hilangkanlah penyakit ini dan sembuhkanlah, Engkaulah Yang Maha Menyembuhkan, tidak ada kesembuhan melainkan hanya kesembuhan dari-Mu, kesembuhan yang tidak meninggalkan penyakit sedikit pun” [4]
d) Membaca doa:

أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّةِ مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ وَهَامَّةٍ وَمِنْ كُلِّ عَيْنٍ لامَّةٍ
Aku berlindung kepada kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari setiap syaithan, binatang berbisa, dan dari setiap mata yang jahat” [5].
e) Membaca doa:

أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ
Aku berlindung kepada kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari kejahatan makhluk-Nya” [6]
f) Membaca doa:

أَعُوذُ بِكَلِماتِ اللّه التَّامَّةِ مِنْ غَضَبِهِ وَمنْ شَرّ عِبادِهِ، وَمِنْ هَمَزاتِ الشَّياطِينِ وأنْ يَحْضرُونِ
Aku berlindung kepada kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari kemurkaan dan siksaan-Nya, dari kejahatan hamba-hamba-Nya, dari godaan syaithan, dan dari kedatangan mereka kepadaku”. [7]
g) Membaca doa:

أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّاتِ الَّتِي لَا يُجَاوِزُهُنَّ بَرٌّ وَلَا فَاجِرٌ مِنْ شَرِّ مَا يَنْزِلُ مِنَ السَّمَاءِ، وَمِنْ شَرِّ مَا يَعْرُجُ فِيهَا وَمِنْ شَرِّ فِتَنِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَمِنْ كُلِّ طَارِقٍ، إِلاَّ طَارِقٍ يَطْرُقُ بِخَيْرٍ يَا رَحْمَـٰنُ
Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna yang tidak dapat ditembus oleh orang baik maupun orang jahat, dari kejahatan apa yang telah Dia jadikan dan Dia ciptakan. Serta dari kejahatan yang turun dari langit, dari kejahatan yang naik ke langit, dari kejahatan yang tenggelam ke bumi, dari kejahatan yang keluar ke bumi, dari kejahatan fitnah malam dan siang, dan dari kejahatan setiap yang datang (di waktu malam), kecuali yang datang dengan tujuan baik, wahai Rabb Yang Maha Pemurah” [8].

h) Membaca doa:

اَللَّهُمَّ رَبَّ السَّمَاوَاتِ السَّبْعِ وَرَبَّ الْعَرْشِ الْعَظِيْمِ، رَبَّنَا وَرَبَّ كُلِّ شَيْءٍ، فَالِقَ الْحَبِّ وَالنَّوَى، وَمُنْزِلَ التَّوْرَاةِ وَاْلإِنْجِيْلِ وَالْفُرْقَانِ، أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ كُلِّ شَيْءٍ أَنْتَ آخِذٌ بِنَاصِيَتِهِ. اَللَّهُمَّ أَنْتَ اْلأَوَّلُ فَلَيْسَ قَبْلَكَ شَيْءٌ، وَأَنْتَ اْلآخِرُ فَلَيْسَ بَعْدَكَ شَيْءٌ، وَأَنْتَ الظَّاهِرُ فَلَيْسَ فَوْقَكَ شَيْءٌ، وَأَنْتَ الْبَاطِنُ فَلَيْسَ دُوْنَكَ شَيْءٌ، اِقْضِ عَنَّا الدَّيْنَ وَأَغْنِنَا مِنَ الْفَقْرِ
Ya Allah, Rabb langit yang tujuh, Rabb bumi dan Rabb ‘Arsy yang agung, Rabb kami dan Rabb segala sesuatu, Pembelah biji dan benih, Yang menurunkan Taurat, Injil dan al Furqan (Al-Qur’an). Aku berlindung kepadaMu dari kejahatan segala sesuatu yang. Engkau lah yang memegang ubun-ubunnya. Ya Allah, Engkau-lah yang awal, sebelum-Mu tidak ada sesuatu. Engkaulah yang terakhir, setelahMu tidak ada sesuatu. Dan Engkau-lah yang zhahir, sehingga tiada sesuatu pun yang mengungguli-Mu. Engkau-lah yang Batin, tidak ada sesuatu yang tersembunyi dari-Mu. Lunasilah hutang kami dan cukupilah kami hingga terhindar dari kefakiran” [9].

i) Membaca doa:

بِاسْمِ اللهِ أَرْقِيكَ، مِنْ كُلِّ شَيْءٍ يُؤْذِيكَ، مِنْ شَرِّ كُلِّ نَفْسٍ أَوْ عَيْنِ حَاسِدٍ، اللهُ يَشْفِيكَ بِاسْمِ اللهِ أَرْقِيكَ
Dengan menyebut nama Allah, aku meruqyahmu dari segala sesuatu yang menyakitimu, dari kejahatan setiap jiwa dan mata orang yang dengki. Mudah-mudahan Allah menyembuhkanmu. Dengan menyebut nama Allah, aku mengobatimu dengan meruqyahmu” [10]
Atau membaca doa:

بِاسْمِ اللهِ يُبْرِيكَ، وَمِنْ كُلِّ دَاءٍ يَشْفِيكَ، وَمِنْ شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ، وَشَرِّ كُلِّ ذِي عَيْنٍ
Dengan menyebut nama Allah, mudah-mudahan Dia membebaskan dirimu dari segala penyakit, mudah-mudahan Dia akan menyembuhkanmu, melindungimu dari kejahatan orang dengki jika dia mendengki
dan dari kejahatan setiap orang yang mempunyai mata jahat” [11]
Atau membaca doa:

بِسْمِ اللَّهِ أَرْقِيكَ، مِنْ كُلِّ شَيْءٍ يُؤْذِيكَ، مِنْ حَسَدِ حَاسِدٍ، وَمِنْ كُلِّ عَيْنٍ، اللَّهُ يَشْفِيكَ
Dengan menyebut nama Allah, aku meruqyahmu dari segala sesuatu yang menyakitimu, dari kedengkian orang yang dengki dan dari kejahatan setiap orang yang mempunyai mata jahat. Mudah-mudahan Allah menyembuhkanmu” [12]
Semua ta’awudz (doa perlindungan), doa dan ruqyah tersebut dapat dipergunakan untuk mengobati sihir, kesurupan jin, dan semua macam penyakit. Sebab ia merupakan ruqyah yang lengkap dan sangat bermanfaat dengan izin Allah Ta’ala.
4. Berbekam
Mengeluarkan penyakit dengan melakukan pembekaman pada bagian yang tampak bekas sihir, hal itu jika dimungkinkan. Tetapi jika tidak mungkin, maka cukup dengan penyembuhan cara sebelumnya. Walhamdulillah [13].
5. Dengan obat-obat alami
Di dunia ini terdapat beberapa obat alami yang sangat bermanfaat yang ditunjukkan olah Al Qur’an dan As Sunnah. Jika seseorang menggunakannya dengan penuh keyakinan dan kejujuran disertai keyakinan bahwa manfaat itu hanya dari Allah, maka Allah akan memberikan manfaat padanya, jika Dia menghendaki. Di sana terdapat obat yang dikombinasi dari rerumputan dan sejenisnya, yang semuanya itu didasarkan pada pengalaman sehingga tidak ada larangan untuk memanfaatkannya menurut syariat selama tidak diharamkan[14].
Diantara pengobatan dan penyembuhan alami yang sangat bermanfaat dengan izin Allah Ta’ala adalah menggunakan madu, habbatus sauda (jintan hitam), air zamzam, dan air hujan. Hal itu didasarkan pada firman Allah Ta’ala:
وَنَزَّلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً مُبَارَكًا
Dan dari langit Kami turunkan air yang diberkahi (banyak manfaatnya)…” (QS. Qaaf: 9).
Juga minyak zaitun. Hal itu didasarkan pada sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam :
كُلُوا الزَّيْتَ، وَادَّهِنُوا بِالزَّيْتِ، فَإِنَّهُ مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَكَةٍ
Makanlah oleh kalian minyak (zaitun) dan poleskanlah dengannya, karena sesungguhnya minyak (zaitun) itu dari pohon yang diberkahi” [15]
Telah terbukti melalui pengalaman, praktek langsung serta melalui kepustakaan, bahwa ia merupakan minyak yang paling bagus [16].
Dan di antara obat alami lainnya adalah: mandi, membersihkan diri, dan memakai wangi-wangian.

Kesurupan Jin


Pengobatan terhadap orang yang kesurupan jin mempunyai dua bagian:

a) Pencegahan kesurupan
Di antara upaya pencegahan adalah dengan menjaga dan memelihara semua kewajiban dan menjauhi segala larangan, taubat dari segala macam kesalahan dan dosa, juga membentengi diri dengan beberapa dzikir doa, dan ta’awudz (doa perlindungan) yang disyariatkan.
b) Pengobatan kesurupan
Yaitu dengan cara seorang Muslim -yang hatinya sejalan dengan lisan dan ruqyahnya- membacakan bacaan bagi orang yang kesurupan. Dan pengobatan dengan ruqyah yang paling ampuh adalah dengan surat Al Fatihah [1], ayat Kursi, dua ayat terakhir dari surat Al Baqarah, Qul Huwallahu Ahad (surat Al Ikhlash), Qul A’udzubirabbil Falaq (surat Al Falaq), dan Qul A’udzubirabbin Naas (surat An Naas), dengan memberikan tiupan pada orang yang kesurupan dan mengulangi bacaan tersebut sebanyak tiga kali atau lebih, dan ayat-ayat Al Qur’an lainnya. Sebab seluruh isi Al Qur’an adalah penyembuh bagi apa saja yang ada di dalam hati, penyembuh, petunjuk, dan rahmat bagi orang-orang yang beriman [2]. Serta doa-doa ruqyah seperti yang dijelaskan pada cara kedua dari pengobatan sihir (simak di artikel bagian 1 dan bagian 2).
Dalam pengobatan ini diperlukan adanya dua hal, yaitu:
  1. Dari pihak orang yang kesurupan jin, yakni berkaitan dengan kekuatan dirinya, kejujuran tawajjuh-nya (menghadap) kepada Allah, ta’awudz yang benar yang sejalan antara hati dan lisannya.
  2. Dari sisi orang yang berupaya mengobati, dimana dia pun harus demikian, karena senjata yang dipergunakan itu minimal harus seimbang dengan senjata lawan. (Artikel: Muslim.or.id)
Maraji':
[1] Lihat Sunan Abi Dawud (no. 3420, 3896, 3897, 3901), Musnad Ahmad (V/210-211) dan lainnya dari pamannya Kharijah bin Ash Shalt radhiallahu’ahu. Lihat Silsilah Al Ahadits Ash Shahihah (no. 2027).
[2] Lihat Al Fathur Rabbani, Tartiibu Musnad Al Imam Ahmad (XVII/183).

 [3] Lihat Zaadul Ma’ad (IV/24), Shahih Al Bukhari (no. 5765) dan Shahih Muslim (no. 2189), dari ‘Aisyah radhiallahu’anha dan Majmu’Al Fatawa Syaikh Ibnu Baz (III/280)
[4] Lihat Fatawa Ibnu Baaz (III/279), Fathul Majid (hal. 263-264), murajaah dan ta’liq Syaikh Ibnu Baaz cet. Daar Ash Shuma’i tahun 1519H, dan Ash Sharimul Battar fit Tashaddi lis Saharatil Asyraar, karya Wahid Abdussalam Bali (hal. 109-117). Di sana terdapat juga ruqyah yang cukup panjang yang insya Allah sangat bermanfaat. Juga lihat Mushannaf Abdurrazaq (XI/13) dan Fathul Baari (X/233).
[5Disarikan dari penjelasan Syaikh Musthafa bin Al-‘Adawi hafidzahullah, dalam kata pengantar beliau terhadap buku Keajaiban Thibbun Nabawihal. 24-25.


6. Risalatun Fi Ahkami Ar Ruqa Wa At Tamaim Wa Shifatu Ar Ruqyah Asy Syar’iyyah, karya Abu Mu’adz Muhammad bin Ibrahim. Dikoreksi Syaikh Abdullah bin Abdur Rahman Jibrin.
7. Kaifa Tu’aliju Maridhaka Bi Ar Ruqyah Asy Syar’iyyah, karya Abdullah bin Muhammad As Sadhan, Pengantar Syaikh Abdullah Al Mani’, Dr Abdullah Jibrin, Dr. Nashir Al ‘Aql dan Dr. Muhammad Al Khumayyis, Cet X, Rabi’ul Akhir, Tahun 1426H.

8. Dinukil dari Kaifa Tu’aliju Maridhaka Bi Ar Ruqyah Asy Syar’iyyah, hlm. 41.
9. Hadits hasan, Shahihul Jami’ (2/4498).
10. HR Muslim, kitab As Salam (14/189).
11 Shahihul Jami’, no. 346.
12. Fathul Bari (21/323). Cara ini dikatakan oleh Az Zuhri merupakan cara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam meniup.
13. Al Fathu Ar Rabbani (17/182) dan Mawaridu Azh Zham-an, no. 1415-1416.
14. Al Fathu Ar Rabbani (17/183).
15. Namlah adalah luka-luka yang menjalar di sisi badan dan anggota tubuh lainnya




[Beberapa bagian diambil dari majalah As-Sunnah Edisi 06//Tahun IX/1426H/2005M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183

**************************************

Kontributor: Yulian Purnama,, Muhammad, M.Saefuddin Hakim. 
Editor: Ustaz Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF. email: ustazsofyan@gmail.com

Popular posts from this blog

CV Dian Persada

Profile CV Dian Persada Global    Laptop/Notebook Business Ultraportable (NBU) -CV Dian Persada   Propolis   BioFK-Fuel Additive Speaker al-Qur'an Digital   Flashdisk Edukasi Anak Muslim   Produk-produk Herba Alami Kualitas Tinggi HNI-HPAI      Men's Formula -Produk Malaysia   Arab Maxx- Kesehatan Lelaki Pencegahan Covid-19 dengan CMD/Hydro-C   Herba Alami "Varash" dan Khasiat-khasiatnya   Produk - produk Zeelora: Bio Miracle, Bio Energy, Zee Propolis, DMOF, Zeelora & FrutyCell  Produk-produk Herbalife Nutrition Produk Alami: Kacang Mete   Herba Kampung K7 - Produk Malaysia   Minyak Herba Asma Mujarab   Produk Malaysia: Herba Mujarab   Minyak Zaitun Murni dan Khasiatnya   Madu Murni dan Khasiatnya   Kurma dan Khasiatnya   Air Zam-Zam dan Khasiatnya   Jelly Gamat dan Khasiatnya (Mengatasi Pengapuran Sendi, Diabetes, dll)   Pengobatan Thibbun Nabawi Mencegah Covid-19 Ramuan Obat Jantung Tersumbat   Khasiat dan Manfaat Beberapa Tumbu

BioFK -Fuel Additive

BioFK -Fuel Additive BioFK adalah Produk baru yang sangat bagus yaitu penghemat BBM baik untuk Sepeda Motor, Mobil, Bus, Truck, Kapal, Mesin Diesel, Ginset, dll Apa manfaatnya memakai Bio FK? 1. Menghemat BBM 50 % - 80 % 2. Meningkatkan Oktan/Ron bahan bakar 3. Memberi efek lubrikasi/pelumasan piston sehingga gesekan piston menurun 4. Memecah molekul BBM, sehingga proses pembakaran pada ruang mesin menjadi optimal 5. Mengoptimalkan tenaga dan akselarasi mesin 6. Mengurangi biaya perawatan mesin 7. Menambah oksigen dan nitrogen untuk mendinginkan suhu mesin 8. Membersihkan kerak/kotoran pada tangki dan mesin Seorang driver ojol sehari muter2 katakanlah habis bbm 50rb.... Kalau dia bisa hemat 75% dengan pemakaian Bio FK, hemat 37.500/hari, sebulan 1.125.000, sangat bernilai meningkatkan kesejahtraannya.... Sopir truk fuso jawa-sumatra, sekali jalan habis solar 3,5jt, PP habis 7jt.... Kalau dia bisa hemat 50%, PP bisa kantongin 3,5jt, hanya dari penghema

Obat Balgham (Darah kotor Penyumbat Pembuluh Darah)

Obat Balgham  (Darah Kotor Penyumbat Pembuluh Darah) فصل فدا مۑتاكن أوبت بلغم . ١)  مك أمبيل اكر باوغ ميره دان لاد سڤوله بوتر دان باوغ ڤوتيه دان  هليا دان ڬارم هرموز دان ڬارم فارا. مك سكلين ايت سام برة. مك ڤيڤيس بري لومت اكن ايرث لمو نيڤس. ستله سوده مك إي تلن  ڤد تيڤ٢ هاري دوا كالي، نسچيا عافية أولهث Alih aksara: Fasal pada menyatakan ubat Balgham. 1)  Maka ambil akar bawang merah dan lada sepuluh butir, dan bawang putih dan halia dan garam Harmuz dan garam garam para. Maka sekalian itu sama berat. Maka pipis beri lumat akan airnya limau nipis. Setelah sudah, maka ia telan pada tiap-tiap hari dua kali, niscaya ‘afiat olehnya. Tambeh(tuntunan/diingatkan/pedoman: 1) Semua bahan tersebut di atas dapat dibeli di Toko Obat Herbal di Kota terdekat. 2).  Mengenai obat jenis Makjun (Aceh: Majun), insya Allah akan saya produksi sendiri, jika Allah mengizinkan!. Makjun juga dapat mengobati Balgham!. Pembuatan Majun ini, saya akan dibantu oleh sebuah Keluarga Dhu’afa di ped